Saturday, April 15, 2006

kisah setumpuk uang logam

Seorang teman yang berkunjung ke kamar saya suatu saat pernah bertanya karena melihat tumpukan uang logam di sudut kamar saya yang sempit.

koin sapa tuh?

koinku lah, siapa lagi yang di kamar ini?”
Sambil menjawab saya ambil setumpuk uang logam dan menyusunnya satu per satu.

niat banget sih, ngumpulin segitu itu seberapa lama?”

cukup lama untuk sambil mengetahui maknanya…
Seperti tak perduli dengan kebingungannya saya tetap menata uang-uang logam itu menjadi tumpukan-tumpukan beraturan. Kemudian mata saya menerawang sambil mengenang kisah di balik tumpukan-tumpukan uang logam itu.

hehehe.. ketahuan!!! Inget sama mantan yeee…

Dan saya tersenyum mendengar gurauannya.

Beberapa tahun yang lalu dalam kehidupan saya hadir seorang gadis, ya gadis, atau wanita ya? Saya bingung juga, pokoknya dia berjenis kelamin yang sama dengan ibu dan adik bungsu saya.
Teman sekelas di kampus, anggota kelompok depan ketika jam-jam kuliah. Dan saya berada di tengah meski sering di belakang. Tanpa sadar saya suka memperhatikan dia dari belakang, tampak punggungnya dan rambut ikalnya cukup membuat saya bersemangat untuk berangkat ke kampus, kuliah? Iya donk, sambil memandangnya dari belakang yang pasti..hehehe. Hingga tanpa sengaja saling bertukar alamat dan nomer telepon –waktu itu saya belum punya handphone-. Akhirnya saya tau namanya dan dimana alamatnya. Mau tau namanya? Rahasia donk
Love at the first sight? Tentu tidak! Saya bukan tipe orang yang percaya dengan idiom semacam itu. Hanya saja sejak kejadian perkenalan itu saya jadi lebih sering memperhatikan dia, mencoba berkomunikasi dengan dia dan mencari-cari alasan untuk bisa dekat dengan dia.
Tetapi kemudian kesibukan sebagai mahasiswa baru dan kebetulan saya sedikit aktif di kegiatan kemahasiswaan agak mengurangi intensitas perhatian saya padanya. Hingga pada pertengahan masa kuliah saya kembali bisa dekat dengannya. Singkat cerita kami berkomitmen untuk saling berbagi cerita, berbagi suka, berbagi sedih, bahkan berbagi waktu.
Ternyata dia memiliki kebiasaan mengumpulkan uang-uang logam itu. Tidak hanya 500 rupiah, tetapi juga 1000 rupiah. Awalnya saya agak aneh juga dengan hobinya tersebut, namun akhirnya pelan-pelan saya jadi ikut membantu dia mengumpulkan uang-uang logam tersebut. Kadang uang-uang logam yang sudah saya kumpulkan saya serahkan ke dia dan dia mengganti dengan sejumlah uang kertas senilai jumlah uang logam, kadang lebih, kadang juga kurang. Tetapi lama-lama saya jadi ikut menikmati kebiasaannya bahkan sekali waktu saya memaksa teman-teman saya untuk menyerahkan uang-uang logam mereka pada saya, saya ganti dengen sejumlah nilai yang sesuai tentunya, lalu saya berikan padanya. Yah.. kami jadi pasangan pengumpul uang logam… lucu.. aneh.. tapi bermanfaat juga, bukankah bermanfaat juga untuk tabungan?
Tetapi itu tidak berlangsung lama. Hubungan kami akhirnya menemui tembok tebal nan tinggi yang membuat kami terpisah. Akhirnya saya mengumpulkan uang-uang logam itu sendiri, saya tidak tahu apakah dia masih terus mengumpulkan setelah itu atau tidak. Saya tidak ingin GR dengan menebak perasaannya pada saya pasca hubungan itu, tetapi dengan mengumpulkan uang-uang logam itu cukup membunuh rindu saya padanya. Saat-saat rindu, saya susun ulang uang-uang logam itu satu per satu, tumpuk demi tumpuk, dan itu saya lakukan berulang-ulang. Lalu beberapa tahun kemudian uang-uang logam itu saya serahkan padanya, yah sudah saatnya dia tau bahwa saya masih mengenangnya, masih memikirkannya, meski saat itu dia sudah memiliki orang lain. Tapi setelah itu, godaan untuk terus mengumpulkan uang-uang logam tetap ada, dan selalu saat saya rindu padanya saya susun ulang uang-uang logam itu, tumpuk ulang, begitu seterusnya hingga kini.
Dan.. setelah hampir 3 tahun kami berpisah saya masih meneruskan kebiasaan saya mengumpulkan uang-uang logam itu,menabungkah? Mengingat dia kah? Entah…. yang jelas saya menikmatinya… menikmati sambil mengenang saat-saat indah saya bersamanya.
Sampai kapan saya melakukan ini? Jangan tanya saya, saya sendiri tidak akan mampu menjawab…..

Sambil mengakhiri cerita, saya kembalikan tumpukan-tumpukan itu ke dalam tempatnya lagi dan tersenyum pada teman saya itu.

kamu masih suka dia?”

masih

kamu masih sayang dia?”

banget

kamu masih berharap dia kembali ke kamu?”

ga tau deh, berat rasanya membuat dia kembali … tapi kita lihat aja nanti

dia pasti wanita yang hebat hingga kamu masih menata rapi semua kisah kalian meski sudah lewat bertahun-tahun

iyah.. dia yang terhebat yang pernah kumiliki hingga saat ini…dan biarlah semua terkenang rapi dalam setiap koin di sini … mungkin koin-koin ini akan bertemu dia, mungkin juga tidak akan pernah
Dan saya tersenyum dalam hati …


Madiun, 14 April 2006, 18.16 WIB

Monday, April 10, 2006

mimpi edan

Bagaimana menafsirkan sebuah mimpi? Ada banyak buku tentang tafsir mimpi, mulai dari primbon sampai buku mujarobat. Apakah semua benar menafsirkan mimpi kita?

Semalam saya mimpi aneh, sekaligus kurang ajar. Saya sebagai pemilik mimpi ajah tidak rela kalau saya memimpikan hal seperti itu apalagi anda yang tidak terlibat. Ha .. ha.. pede yah saya? Bagaimana tidak, semalam saya mimpi selibat dengan istri orang, bayangkan! Istri orang? Dengan pacar orang saja saya masih belum berani, meski kadang tanpa sadar terjadi juga. (boleh saya tersenyum? He..he..)

Dalam mimpi itu saya indekos di salah satu tempat kos campur bahkan ada yang berkeluarga, celakanya sekarang saya berada dalam keadaan yang mirip seperti di mimpi saya, meski di kota kecil ternyata banyak tempat kos seperti itu di Madiun ini. Mungkin tidak sebanyak di Jakarta yang jelas. Nah dari itulah terjadi kejadiannya, tentunya saya mohon maaf karena tidak mampu menceritakan mimpi saya secara detail, karena ini benar-benar mimpi dan kemampuan mengingat mimpi saya tidak terlalu baik sehingga ketika terbangun saya hanya mengingat kejadian globalnya.

Mengapa kemudian ini menjadi catatan saya? Saya tidak tahu apakah saya harus bersyukur atau malah menjadi takut, beberapa kejadian dalam hidup saya seringkali termimpikan jauh sebelum kejadian tersebut. Semacam de javu, tetapi lewat mimpi yang jelas, tidak melalui lamunan atau keadaan tidak sadar yang lain. Kadang memang cukup menyenangkan ketika mimpi kita menjadi kenyataan, tapi untuk kasus ini? Hiyy… ngeri saya membayangkan kalau mimpi kali ini jadi kenyataan. Tolong doakan saya ya, supaya ini tidak jadi nyata dan bukan sebaliknya.

Madiun, 9 April 2006, 23:27 WIB

Sunday, April 09, 2006

pelacur itu temanku....

malam itu saat saya dan anda sekalian sedang tertidur di peraduan masing-masing, seorang teman bersimbah peluh dan menyanyikan rintihan nafsu bersama lawan jenisnya yang mungkin baru dia kenal beberapa jam yang lalu. Saya kenal salah satu dari mereka, tanpa sengaja dan bukan karena pengembaraan saya masuk ke dunia nikmat itu. Banyak hal yang menggelitik rasa ingin tahu saya di luar sana, kali ini kehausan ingin tahu saya sedikit terpercik air dari dunia mereka. Tidak perlu saya sebut nama mereka, ya saya kenal beberapa orang dari mereka, sekali lagi silahkan anda mengambil kesimpulan sendiri apakah saya pernah bergumul nikmat dengan mereka atau tidak.

…dosakah yang dia kerjakan?
…sucikah mereka yang datang?

penggalan bait lagu Ibu Titik Puspa cukup mewakili rintihan jiwa mereka yang hampa, kosong tak bernyawa. Uangkah yang mereka cari? Nafsukah yang mereka umbar? Saya tahu ketika kita bicara tentang wanita penghibur,selalu ada unsur duniawi disana dan itu adalah uang dan nafsu. Tetapi benarkah hanya itu yang mereka cari? Apakah tidak sebaiknya kita urungkan niat untuk menghakimi mereka lebih dini?

Ditinggalkan pacar, setelah mereka berbagi syahwat bersama mungkin cukup bisa memancing seseorang untuk mengulangi pengalaman-pengalaman badaniah itu, dan …. kalau bisa dijual, kenapa harus gratis?

Ada yang butuh duit untuk membiayai keperluan kuliahnya, salahkah dia? Tujuannya mulia bukan? Kemanakah kita ketika orang-orang seperti dia butuh pertolongan? Lalu ketika dia memilih jalan ini kita menghakiminya, adilkah kita?

Saat bersama seorang pria dia merasa dimanja, dia merasa berarti, ketika hasrat yang tertahan itu mampu terlepaskan membuat dia seperti melepas emosi yang selama ini membelenggu hidupnya karena tinggal dengan keluarga diktator dan radikal. Dorongan orgasmusnya membuat dirinya merasa di-recharge kembali dan mengembalikan semangat hidupnya, meski untuk sementara waktu

Kemanakah dosa? Kemanakah norma? Tolong jangan bicarakan itu padanya? Tidak sedikit dari mereka yang dating dari keluarga religius, pula yang tadinya santri. Tetapi mengapa mereka memilih jalan tersebut? Tolong… sekali lagi tolong jangan hakimi mereka.
Mereka orang-orang yang juga beragama dan sadar akan dosa. Tetapi mungkin saja mereka khilaf dan lupa tentang itu semua ketika kebutuhan-kebutuhan mereka mulai memenuhi otak dan menutupi kesadaran mereka.

Kemana akal sehat mereka? Bodohkah mereka? Lalu ketika pelakunya mahasiswi sebuah universitas negeri terkemuka di pulau jawa bahkan indeks prestasinya cumlaude, apakah dia tidak memiliki akal sehat?
Sebagai orang cerdas, mereka pasti sudah mempertimbangkan masak-masak pilihannya tersebut, dan mereka akan bertahan dengan pendapatnya ketika ada orang lain yang menyerangnya, karena mereka benar-benar menikmatinya.

Merekalah beberapa orang teman saya, ada yang malu-malu menceritakannya adapula yang tanpa tedeng aling-aling membuka kisah kebenaran dirinya. Mohon maaf kepada anda sekalian, saya bukannya memihak mereka lalu kemudian membenarkan kegiatan syahwat mereka. Saya hanya ingin berbagi cerita sedikit yang pasti banyak diantara kita juga memiliki cerita sejenis. Saya hanya ingin semua sadar bahwa mereka adalah teman saya… teman anda… teman kita…

… apa yang terjadi terjadilah…
… yang dia tahu Tuhan menyayang umat-Nya…
… apa yang terjadi terjadilah…

Pandega Duta, 03 April 2006, 10.00 wib

tanggung jawab, maukah?

Mari kembali ke masa lalu, ketika kita tidak harus memikirkan hidup dan kehidupan ini, saat setiap hari yang kita pikirkan hanya bermain dan bermain. Tidakkah kita semua menginginkan mengulang hal itu terjadi lagi dalam hidup kita? Ketika kita mampu melepaskan segenap tanggung jawab yang terpikulkan di pundak dan mencoba hidup seperti orang bebas.

Bayangkan, ketika pagi kita berangkat ke sekolah, di sekolah hal terbanyak yang kita lakukan adalah bermain (meski sambil belajar yah), pulang dari sekolah masih juga kita sempatkan untuk bermain entah dengan teman-teman atau video game yang dibelikan ayah? Kemudian ibu mulai mengeluarkan ancamannya untuk menyuruh kita tidur siang. Bahkan saat hendak tidur pun kita masih bermain dengan miniatur pesawat atau mobil yang ada di bawah bantal. Saat itu kita dengan bangga berkata bahwa ayah atau ibu tidak tahu tempat persembunyian kita itu, meski sebenarnya mereka tahu tetapi mereka diam saja. Sadarkah bahwa orang tua kitapun merestui kita bermain. Bangun tidur, setelah mandi, masih saja kita bermain, di masjid ketika kita ikut mengaji ataupun dimeja belajar dengan berandai-andai bersama hayalan kita. Ya… bermain dan bermain…

Lalu kita kembali ke masa kini, siapa orangnya yang tidak ingin diambil semua tanggung jawabnya untuk kemudian diijikan menjalani hidup sekehendak hatinya? Tetapi apakah bisa? Apalagi untuk sebagian orang tanggung jawab itu merupakan pelengkap hidupnya.
Berat juga ya hidup tanpa tanggung jawab, ada missing link yang terasa bila itu dihilangkan. Meski saya yakin tidak sedikit orang yang berharap bisa mengurangi tanggung jawab itu dan memperbesar kenangan-kenangan masa kecilnya dahulu…

Pandega Duta, 01 April 2006, 19.00 wib