Sunday, June 25, 2006

mengapa begini? mengapa begitu?

Pelajaran berharga dari seorang teman, bahwa kita tidak akan pernah tau mengapa sesuatu terjadi pada diri kita saat itu juga, selalu ada sebab dan akibat tetapi tidak selalu beriringan.

Mengapa begini? Mengapa tidak begitu saja?

Berat kadang menerima sesuatu yang diluar kehendak, tiba-tiba ada hal-hal yang tadinya tanpa diduga terjadi dan kadang membebani pikiran. Kadangkala saya menyesali waktu yang telah lewat, tidak jarang juga saya bersyukur karena selalu ada hal baru yang saya temui setiap hari.

Belum lama saya menerima complain dari seorang teman atas sikap saya. Saya cukup shock pada awalnya, tidak menyangka sesuatu yang saya anggap biasa-biasa saja ternyata melukai seorang teman, bahkan mungkin beberapa, who knows? Itu baru satu hal. Saya tidak yakin perbuatan saya yang lain disukai oleh teman-teman saya yang lain pula.

Hal terbesar yang saya pelajari dari complain itu adalah bahwa segala sesuatu itu perlu tempat, perlu wadah yang tepat, tidak bisa selalu fleksibel. Tidak bisa seperti balon karet yang mengikuti saja bila di tekan ke segala arah, meski pada titik tertentu balon itu akan pecah. Tidak bisa seperti air yang bahkan dengan rendah hati menyesuaikan diri dengan bentuk wadahnya. Tidak semua bisa...

Bahwa hidup itu adalah tempat belajar, saya setuju sekali. Sama setujunya dengan pernyataan bahwa pertanyaan "Mengapa begini? Mengapa begitu?" tidak perlu dijawab saat itu juga. Nanti pada waktu yang tepat pasti akan ada jawabannya. Wallahualam.

Wednesday, June 14, 2006

saya tidak mampu bercerita

Ingin rasanya saya bercerita banyak tentang apa yang saya lihat hari ini. Tapi saya tidak mampu. Cukuplah kalian semua menyaksikan berita di televisi itu, cukuplah sudah air mata saya menetes karena tidak mampu menahan mirisnya hati. Tolong jangan paksa saya bercerita karena saya tidak akan mampu.

Kuatkah hatimu menahan iba ketika orang-orang itu sedang merintih, meringis, bahkan hampir tanpa harap karena luka-luka di tubuhnya belum tertangani di dekatmu? Sebagian besar dari kalian pasti akan meneteskan air mata. Saya juga...

Tegarkah hatimu saat melihat mayat-mayat terbungkus mulai dikubur satu per satu dan diiringi raungan tangis-ya! raungan dan bukan isakan-dari kerabat dekat dan tetangga-tetangganya, bahkan tanpa dimandikan lagi karena tubuh mereka sudah tidak utuh lagi. Tegarkah hatimu? Saya tidak..

Mampukah matamu untuk tidak meneteskan air mata melihat mereka memperhatikan dan meratapi puing-puing rumah mereka, meratapi nasib mereka yang kehilangan harta dan sanak keluarga. Bahkan ketika seorang ibu tua menunjukkan kantung kain sebesar kepalan tangannya seraya berkata "cuman ini harta saya sekarang, semuanya sudah tidak ada lagi..." kemudian ia membuka kain itu dan hanya berisi beberapa lembar uang rupiah. Saya tidak sanggup untuk tidak meneteskan air mata...saya tidak sanggup...

Cukup sudah cerita saya tentang itu, saya sudah tidak mampu bercerita lagi. Setiap mengulangi cerita itu hanya keprihatinan yang saya rasakan.

Saudara-saudara saya para korban bencana, kuatlah, tegarlah, mari kita bangun kembali tanah mataram tercinta ini.


Sekali lagi maaf saya tidak mampu menceritakan lebih detail, terlalu banyak dan terlalu menyedihkan untuk diceritakan. Doakan saja kami mampu bangkit dari petaka ini..



Bantul, 29 Mei 2006, 23.30 WIB

sehari setelah kiamat itu datang...

Suara gemuruh kemarin pagi beberapa menit menuju pukul 6 pagi cukup membuat saya terbangun dari tidur saya yang belum penuh 2 jam. Gemuruh itu diikuti goyangan bangunan yang sangat dahsyat (paling tidak menurut saya). Rasanya seperti berada dalam akuarium kemudian dikocok-kocok membuat mual perut saya. Entah refleks apa yang membuat sedetik berikutnya saya terloncat dari tidur dan berusaha keluar dari kamar.

Masya Allah.. gempa dahsyat sedang terjadi.

Bersama teman-teman yang lain saya menunggu dan menjauh dari bangunan dua lantai tempat saya bermalam hari itu. Beberapa detik itu seperti beberapa jam kemudian mereda yang cukup melegakan hati. Namun kemudian disusul lagi gempa berikutnya, membuat saya yang waktu itu sedang menikmati sarapan pagi di warung burjo dekat tempat saya menginap segera mengambil sepeda motor dan meluncur menuju tempat kost adik saya.

Dalam perjalanan saya sempat melewati rumah sakit dan di sana saya lihat antrian kendaraan sudah memanjang menunggu giliran masuk ke unit gawat darurat dengan membawa korban gempa. Seorang ibu yang hanya mengenakan pakaian dalam tampak tergeletak tak bergerak di bak belakang sebuah mobil pick up dengan tubuh yang tertutup debu. Seorang laki-laki mengerang kesakitan dengan kepala yang bersimbah darah. Beberapa juga akhirnya hanya mampu diikhlaskan oleh keluarganya karena nyawanya tidak terselamatkan. Jasad-jasad mereka tampak terjajar rapi dan tertutup kain kafan atau jarik.

Astaghfirullah ... apa pula ini?

Tidak sabar saya segera menuju kost adik saya dan betapa bersyukurnya saya ketika mendapati dia baik-baik saja. Keadaan yang sudah mulai tenang akhirnya membuat saya memutuskan untuk meninggalkan kost adik saya dan meneruskan berkeliling melihat keadaan.

Sepertinya tidak terlalu dahsyat...

Banyak atap bangunan yang runtuh di daerah Jogja bagian utara. Awalnya saya mengira gempa dahsyat ini disebabkan karena gunung merapa yang saat ini memang sedang gawat. Apalagi tadi sesaat setelah gempa yang pertama dari puncaknya mengepul asap tebal membentuk jamur kemudian memendar seperti kambing gimbal yang oleh penduduk sekitar disebut wedhus gembel. Bayangan keprihatinan saya muncul kala itu mengingat banyak pengungsi letusan gunung merapi yang mulai kembali ke rumahnya masing-masing, bahkan sehari sebelumnya kawasan wisata kaliurang yang notabene kawasan paling dekat dari Jogja dengan puncak merapi dibuka kembali untuk umum. Saya tidak mampu membayangkan penderitaan mereka. Obrolan bersama teman saya sambil mengendarai sepeda motor ini akhirnya kami tutup dengan kembali ke tempat kostnya yaitu tempat saya menginap semalam. Sekitar pukul 7.30 pagi kami telah sampai di kost setelah lebih dahulu mampir ke rumah kontrakan saya yang alhamdulillah baik-baik saja dan tidak mengalami kerusakan ataupun gangguan yang berarti.

Tidak lama setelah kami mulai masuk ke kamar dan saya membantu membenahi barang-barang yang berantakan karena gempa tadi pagi, tiba2 ada gempa susulan yang cukup membuat panik. Beberapa kali kami terpaksa naik turun tangga karena gempa susulan datang silih berganti sampai akhirnya kami memutuskan untuk tidak kembali ke kamar dan menunggu di luar ruangan.

Kemudian seorang teman datang sambil berteriak bahwa air meluap dari arah pantai menuju kota. Sontak semua orang panik, bahkan di jalan-jalan semua orang berlarian ke arah utara mencari selamat. Tsunami!

Kiamat... rasanya seperti kiamat

Orang-orang saling tidak peduli berebut menyelamatkan diri dan keluarganya masing-masing. Tampak seorang ibu yang mengendarai sepeda berteriak histeris karena teringat anak-anak dan keluarganya di rumah. Beberapa pengendara sepeda motor juga tampak jatuh bangun saling bertabrakan karena arus kendaraan yang ke arah selatan, timur, dan barat tiba-tiba berbalik arah menuju arah utara. Beberapa mobil pun tampak saling bertubrukan. Ditambah keadaan beberapa bangunan di tepi jalan yang (ternyata) sangat hancur membuat keadaan tampak semrawut, listrik dipadamkan, provider telepon seluler tidak bisa membantu komunikasi sehingga saya tidak mampu mencari informasi tentang keberadaan teman bahkan adik saya sendiri masih tidak jelas nasibnya. Ingin mencari, tetapi saya harus kemana di tengah keadaan yang serba semrawut? Akhirnya ditengah kepasrahan saya bersama beberapa teman mencari informasi melalui radio fm dan telepon genggam yang memiliki fasilitas radio.

Mengetahui bahwa isu tentang tsunami itu tidak benar, kami berusaha untuk lebih tenang, meski tetap cemas. Saya pribadi saat itu berpikir bahwa pergi ke arah utara mengikuti masyarakat yang panik juga bukan sebuah tindakan bijaksana. Akhirnya sambil harap-harap cemas kami tetap mendengarkan radio.

Allahu Akbar !!!....

Ternyata apa yang saya duga jauh lebih dahsyat, dari berita radio kami bisa tau kalau gempa yang menimpa itu bukan gempa vulkanik karena aktivitas gunung merapi melainkan gempa tektonik dari arah selatan kota jogja. Dan akibatnya dahsyat, puluhan, ratusan, ribuan bahkan mungkin lebih rumah telah luluh lantak rata dengan tanah. Banyak orang tua kehilangan anaknya dan sebaliknya banyak anak kehilangan orang tua. Korban luka-luka karena patah tulang, luka di kepala, hingga meninggal dunia terus bertambah, dari bilangan puluhan, ratusan hingga ribuan. Kerusakan terbesar terjadi di daerah selatan bahkan banyak desa porak poranda hingga hampir 100 %. Semua berantakan...

Menunggu sambil kelelahan dan mengantuk membuat saya sempat terlelap beberapa waktu hingga akhirnya terbangun karena telepon genggam saya bergetar, ada telpon dari rumah. Bapak bertanya keadaan di Jogja dan sekitarnya, saya jawab sesuai info yang saya terima dari radio. Tetapi Ibu ternyata tidak mampu menyembunyikan kesedihan dan ketakutannya karena adik saya belum bisa dihubungi. Hal yang saya resahkan sejak pagi hari.

Kacau...semuanya kacau...

Dengan janji akan menemukan adik saya, saya mulai menyusuri jalan-jalan di kota Jogja ke arah selatan kemudian menuju ke arah utara. Barulah saya sadari betapa porak porandanya Jogja hari itu. Rumahsakit-rumahsakit besar kewalahan menampung ribuan pasien yang datang mendadak dengan luka-luka. Sebagian mereka dirawat di halaman parkir, pelataran rumahsakit, bahkan di pinggir jalan dengan tabung-tabung infus tergantung di sebelahnya. Mengenaskan! darah dimana-mana, jumlah tenaga medis yang tidak seimbang dengan jumlah pasien yang tiba-tiba ”menyerbu”.. Diperjalanan saya lihat mobil-mobil pribadi tidak berbentuk tapi tetap dikendarai ke arah utara karena mereka tidak memiliki sarana transportasi lain. Layaknya kelangkaan BBM, antrian kendaraan mulai terlihat , bertambah dan terus bertambah terutama di jalan-jalan yang menuju ke arah kaliurang, ke arah utara jogja.

Saya hampir putus asa... sms saya tidak terkirim, jaringan selalu sibuk saat saya coba menelepon, hingga akhirnya saya coba putuskan untuk menuju kost adik saya. Alhamdulillah ternyata adik saya dan beberapa teman kostnya telah berkumpul. Dan saya memutuskan mencoba menenangkan perasaan ibu saya dengan tetap berada di dekat adik saya. Meski saya ingin melakukan hal lain .. tapi tidak saya lakukan selain berdoa..

Diselingi gempa-gempa susulan dengan kekuatan yang lebih kecil kami semua bertahan hingga sore hari hingga akhirnya kami memutuskan untuk menuju rumah kontrakan saya karena di tempat saya listrik sudah menyala dan ada cukup air untuk membersihkan badan. Satu hal yang cukup bisa menghibur, kami bisa melihat televisi sehingga mengerti keadaan yang sebenarnya terjadi. Namun ternyata keadaan yang terjadi cukup membuat kami makin syok, bayangan jogja bagian selatan yang porak poranda ada di benak kami. Dalam pikirain saya mulai memikirkan saudara-saudara saya yang berada di daerah terparah akibat gempa tektonik ini.

Kabar dari teman yang sempat mengunjungi daerah selatan semakin membuat saya merasa miris dan bergidik, bahkan beberapa orang saya temui sedang mengungsi karena rumahnya ambruk tak berbentuk lagi. Saya coba menghubungi teman-teman saya yang tinggal di daerah selatan, semua blank! Ingin rasanya segera menuju ke selatan, melihat kondisi di sana, mencari jejak keluarga saya tetapi amanah orang tua untuk menjaga adik bungsu saya ini juga tidak bisa saya abaikan. Dan saya tetap bertahan disini disertai gempa susulan yang kadang lemah, kadang sangat berasa, tidak mampu memejamkan mata. Mudah-mudahan saudara-saudara saya di sana baik-baik saja.

Ampuni kami Yaa Rabbi... jauhkan dan selamatkan kami dari bencana ini

Kaliurang, 28 Mei 2006, 01.00 WIB